Ketika aku bertanya pada dunia, 'mengapa aku dilahirkan jika ku hanya menyusahkan? Jika aku hanya melihat senyuman palsu yang menyembunyikan air mata? Jika aku hanya diam seperti patung yang sudah retak?' Lalu dunia menjawab, 'Kesucian hati murni akan menjawab segalanya'.
****
Perkenalkan, namaku Alyssa. Aku adalah anak termalang di dunia. Walau aku memiliki fisik yang utuh, namun tangan dan kakiku tak dapat bergerak. Bahkan aku bisu. Suaraku tak dapat keluar. Dan kutukan ini sudah divonis permanen.
Kutukan ini bermula ketika ibu memeriksa kandungannya. Setelah ibu keluar dari rumah sakit dan menuju perjalanan pulang bersama ayah, sebuah mini bus melaju dengan kencang kearah ayah dan ibu. Ayah dengan spontan membanting stir dan menabrak sebuah pohon. Perut ibu terbentur suatu benda keras yang membahayakan kandungannya. Lalu warga sekitar membawa ayah dan ibu kerumah sakit. Ayah mengalami luka berat yang mengharuskan ayah untuk di opname. Dan ibu, ibu hanya mengalami luka kecil. Kandungan ibu pun selamat. Namun, kecelakaan tersebut mengakibatkan anak yang ada dikandungan ibu mengalami cacat permanen. Yaitu aku.
Ada dua pilihan yang diberikan dokter kepada ibu. Menggugurkan kandugannya atau mempertahankannya walau harus menerima kenyataan pahit. Dan ibu lebih memilih mempertahankan kandungannya. Aku mengerti. Itu karena ibu sulit untuk mengandung dan aku adalah anak pertamanya. Namun kalau aku harus menjalani hidup seperti ini, aku lebih memilih mati.
Setiap aku pergi keluar rumah--entah itu ke sekolah atau berobat--banyak orang yang menatapku. Dari tatapan mereka aku melihat bahwa mereka memiliki simpati kepadaku--atau lebih tepatnya merasa kasihan padaku. Aku benci melihatnya. Aku tak suka dikasihani. Dan aku benci semua ini!! Akibat tatapan mereka, aku memilih untuk berhenti sekolah dan tak mau keluar rumah lagi.
Cuaca kali ini sangat bersahabat denganku. Awan yang gelap serta air hujan yang turun membahasi seluruh sudut kota. Lambang kesedihan yang teramat menyedihkan. Kadang aku berfikir, apa yang membuat awan menangis? Apakah dia semalang aku? Apakah dia lumpuh? Apakah dia bisu? Apakah dia selalu sendiri? Apakah dia juga merasa tak berguna seperti aku? Atau memang dia diciptakan untuk selalu menangis? Untuk menghinaku? Atau menemaniku? Aku yakin, takkan pernah ada yang bisa menjawab pertanyaan yang hanya ada dalam batinku.
Aku menatap keluar jendela. Melihat percikan air yang jatuh ke permukaan tanah. Diluar gerbang, ada anak kecil memakai baju lusuh yang basah berlari sambil tertawa. Lalu disusul temannya yang--kurasa--sedang mengejarnya. Mereka tertawa diatas kesedihanku. Aku merasa iri. Kapan aku bisa seperti mereka, tertawa di bawah hujan yang indah.
Ibu--yang sedari tadi berada dipintu kamarku--menghampiriku. Beliau berlutut dihadapanku dan membelai rambutku. "Sayang, apakah kau lapar? Mau ibu ambilkan makanan?"
Aku menggeleng.
Ibu menghela nafas. Dan menatap keluar.
"Kau ingin seperti mereka? Berlari dibawah hujan sambil tertawa bersama temannya?"
Aku tak mengerti mengapa ibu selalu bisa membaca pikiranku. Mungkin memang benar yang sering dikatakan orang, ikatan batin ibu dan anak sangat kuat.
"Kau tahu, mereka lebih malang darimu. Mereka tak memiliki rumah. Bahkan mungkin mereka sudah tidak memiliki orang tua lagi. Mereka sering sekali menangis ketika mereka sudah tidak mampu menahan air matanya. Mereka selalu berdoa untuk bahagia. Dan sekarang, mereka diberi kesempatan oleh Tuhan untuk tertawa, untuk bahagia. Dan kau tahu, suatu saat nanti kebahagiaan itu akan datang padamu. Percayalah,"
Aku percaya pada ibu. Tapi kapan? Kapan kebahagiaan itu datang padaku? Kapan doa ku akan terkabul? Aku tak banyak meminta, aku hanya ingin dapat berjalan, menulis, berbicara, dan lain sebagainya. Aku ingin hidup seperti manusia pada umumnya.
"Oh iya, nanti malam Lulu dan orang tua nya akan disini. Dan kemungkinan besar, Lulu akan menginap disini." Ibu tersenyum.
Lulu adalah sepupuku. Dia masih berusia 5 tahun. Dia satu-satunya anak kecil yang mau berteman denganku. Walaupun aku tak pernah membalas ucapannya, walaupun aku tak pernah ikut bermain boneka dengannya, walaupun aku tak bisa mengajaknya bernyanyi. Aku sayang Lulu.
"Lebih baik sekarang kau istirahat. Dan tampil cantiklah nanti malam, untuk menyambut kedatangan Lulu," Ibu mengecup dahiku. Beliau membawaku ketempat tidur. Dan membiarkan aku sendiri dikamar ini.
****
Malam ini tampak lebih cerah dibanding tadi siang. Bahkan dilangit pun ada banyak bintang yang menghiasi malam. Aku ingin bintang itu mengabulkan permohonanku.
Terdengar bunyi klakson diluar gerbang. Lalu Pak Dudung--satpam dirumahku--membuka gerbang rumah. Sebuah mobil memasuki halaman rumahku. Dan berhenti didepan pintu rumahku.
Pintu mobil pun terbuka. Terlihat sepatu merah keluar dari dalam mobil. Lalu dia melompat untuk menyentuh tanah. Seseorang anak kecil berbaju model babydoll berwarna merah yang rambutnya dikuncir dua tersenyum kearahku. Bersama bonekanya yang lucu dia berlari mengampiriku lalu memelukku. Dia melihatku. Aku hanya bisa membalas tatapannya dan tersenyum. Dia balas tersenyum. Senyumannya sangat manis, lebih manis dibanding lolypop.
Lalu seorang wanita dan seorang pria turun dari dalam mobil. Wanita tersebut tampak anggun dalam balutan gaun mewah berwarna hijau yang dihiasi dengan permata dilehernya. Pria tersebut juga tampak gagah dengan jas hitamnya.
"Assalamu'alaikum, Pak Zidan dan Bu Lily," kedua orang tersebut menunduk memberi hormat pada ayah dan ibu.
"Wa'alaikum salam, Pak Titan dan Bu Ninsy" Ayah dan ibu ikut menunduk memberi salam. Aku hanya tersenyum.
Pak Titan dan Bu Ninsy adalah Om dan Tanteku. Orang tua Lulu. Pak Titan adalah adik dari ayahku.
"Oh, inikah Alyssa? Kau tampak cantik sekali malam ini," Tante Ninsy memujiku. Membelai rambut lurusku.
Aku hanya bisa tersenyum. Hanya itu yang bisa kulakukan selama ini.
"Lulu, kau sudah mencium tangan Om dan Tante mu?" Om Titan menegur Lulu. Anak manisnya.
Lulu menoleh kebelakang. Menatap orang tuaku. Lalu mencium tangan ayah dan ibu.
"Anak yang manis. Ayo masuk Pak, Bu," komentar ayah.
"Terima kasih, Pak."
Kami semua masuk. Aku memperhatikan cara berjalan Om Titan, Bu Ninsy, dan Lulu. Aku rasa mereka kelelahan. Mungkin mereka habis menghadiri suatu pesta.
Kami memasuki ruang makan. Di meja makan sudah ada makanan yang menggoda selera. Ayah, Ibu, Om, Tante, dan Lulu duduk di kursi makan. Aku dibawa ketempat kosong yang memang sudah menjadi tempatku.
Kami memulai acara makan malam kami. Keluarga kami memiliki gengsi yang sangat tinggi. Sehingga kami harus memperhatikan adab dalam hidup, termasuk adab makan dan minum. Selama makan malam berlangsung, tak ada satu orang pun yang berbicara. Aku makan dibantu oleh Mba Rini, orang yang dipercaya ibu untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Dan untuk beberapa waktu, Mba Rini juga mengurusku.
Setelah makan selesai, orang tua ku dan om-tante berbincang-bincang. Cukup lama sehingga aku merasa mengantuk. Pukul jam 9 malam Om Titan dan Tante Ninsy pamit pulang. Namun Lulu tetap dirumahku untuk menginap.
"Kamu baik-baik ya sayang, jangan berbuat ulah," Tante Ninsy mencium kening Lulu. "Iya, mah," Lulu tersenyum. Lalu Om Titan dan Tante Ninsy masuk ke dalam mobil. Mesin mobil itu menyala lalu beberapa saat setelah itu mobil yang dikendarai Om Titan melaju perlahan, keluar dari gerbang, dan menghilang.
Kami berempat masuk ke dalam rumah.
"Baiklah Alyssa dan Lulu, sudah waktunya bagi kalian untuk tidur. Ayo kita ke kamar," Ibu mendorong kursi rodaku secara perlahan. Lulu mengikutiku sambil memegang tanganku. Ibu membuka pintu kamar dan kembali mendorong kursi rodaku. Ibu membantuku berganti pakaian tidur. Kebalikan dari Lulu, dia mengerjakannya sendiri. Aku merasa malu, aku 8 tahun lebih tua darinya. Tapi dia dapat mengerjakan semuanya sendiri, tidak seperti aku yang mengerjakan apapun harus selalu dibantu. Ini benar-benar memalukan.
Lulu melompat ke tempat tidur lalu berbaring bersama bonekanya. Ibu masih setia membantuku untuk berbaring di atas tempat tidur. Dan ibu mengangkat selimut sampai menutupi leherku dan Lulu.
"Kalian berdua tidur yang nyenyak ya. Lulu, jagain kak Alyssa ya,"
'Harusnya aku yang menjaga Lulu. Bukan Lulu yang menjagaku!' bentakku dalam hati.
Ibu mencium keningku dan Lulu, mematikan lampu kamar, dan menutup pintu.
Beberapa saat setelah itu, suasana menjadi sepi. Kurasa Lulu sudah tertidur. Dan kurasa seisi rumah pun sudah tertidur. Namun entah mengapa malam ini aku sulit untuk memejamkan mata. Rasa kantukku mendadak hilang sekarang. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar merasa bosan.
Namun tiba-tiba aku mencium bau tak sedap.
'Seperti bau api.'
Perasaanku tidak enak. Entah apa yang terjadi diluar sana. Aku melihat kearah pintu. Aku melihat dengan samar warna merah menyala.
'Kebakaran?'
Aku takut. Sama sekali tak terdengar suara teriakan diluar sana.
'Mungkin hanya perasaanku saja.'
Aku mencoba untuk menjernihkan pikiranku. Aku berusaha untuk lebih tenang dan mencoba untuk tidur. Namun, tak sampai 5 detik aku terpejam, aku mendengar suara teriakan Mba Rini. Aku terkejut dan langsung melihat keluar pintu. Kini warna merah itu semakin jelas dan semakin besar.
'Ini memang benar-benar kebakaran.'
Aku panik. Benar-benar terjadi kebakaran dirumah ini. Suara teriakan ayah dan ibu pun terdengar. Asap pun kini mulai masuk ke kamar ku. Aku terbatuk. Aku menoleh ke kiri, dan ada Lulu disana.
Oh tidak, aku dan Lulu terjebak disini. Lulu tak mungkin dapat membawaku keluar. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?!
Aku benar-benar panik. Pikiranku kacau. Aku benar-benar tidak bisa berpikir.
Aku mencoba bangkit dari tidurku. Kini aku dalam posisi duduk. Lalu aku berdiri dan langsung menggendong Lulu. Api semakin membesar dan kini sudah membakar sebagian tembok kamarku.
Aku membuka kunci pintu dan melihat keluar. Mencari jalan untuk keluar dari rumah ini.
Ternyata api sudah membakar seluruh ruang tamu. Ini lebih dari dugaanku. Aku mencoba bergerak sambil tetap menggendong Lulu. Aku mencoba untuk mencari jalan yang belum terkena api. Aku jalan perlahan. Namun sebuah lukisan yang terbakar jatuh tepat didepanku. Aku terkejut dan langsung menghindar. Aku benar-benar dalam bahaya besar.
****
"Ayah, gimana ini?! Alyssa saa Lulu masih didalam? Oh Tuhan, tolong selamatkan mereka!" Ibu panik. Ia benar-benar tak bisa berhenti bergerak.
"Aku juga tak tahu, Bu. Kita terlalu panik dan langsung berusaha menyelamatkan diri masing-masing, sampai melupakan anak dan keponakan kita sendiri." Ayah mencoba memadamkan api dengan air dan dibantu warga sekitar yang sudah datang untuk memadamkan api.
"Ya Allah, ibu macam apa aku ini?" Ibu menangis. Beliau benar-benar menyesal dan merasa bersalah. "Ya Allah, ambil saja nyawaku, tapi selamatkanlah Alyssa dan Lulu,"
Lalu, terlihat sebuah bayangan keluar dari pintu rumah. Bayangan tersebut seperti bayangan seorang remaja menggendong seorang anak kecil.
"Lulu? Alyssa?!!" Ibu berteriak. Membuat ayah langsung menatap ibu dan berpaling kearah apa yang dilihat Ibu. Ayah kaget. Ia tak bisa berpikir. Dan spontan membuang ember lalu berlari ke arah bayangan itu.
Ayah menghampiriku. "Alyssa? Lulu? Kalian tidak apa-apa?" Ayah panik. "Aku tak apa," Ia melihat keadaanku dan Lulu. Aku menyerahkan Lulu pada ayah. Dan langsung terjatuh...
****
Aku membuka mataku perlahan. Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk dapat menyesuaikan pandanganku dengan sinar disekitarku.
"Alyssa?"
Terdengar sebuah suara di dekatku.
Kini mataku benar-benar terbuka.
"Aku..dimana?" Aku mencoba duduk. Bangkit dari posisi tidurku.
"Kamu dirumah sakit, sayang," Ibu membelaiku.
Aku mencoba menjernihkan pikiran. Lalu tersadar akan sesuatu.
"Bu, Lulu mana? Apa dia baik-baik saja?!" Aku panik. Dan mengguncang tubuh ibuku.
Ibu tersenyum sesaat. Tenang saja sayang, dia baik-baik saja," Ibu membelai rambutku.
"Mana dia sekarang?" aku mencarinya. Hanya ayah dan ibu yang kulihat disini.
"Lulu disini, kak," Terlihat seorang anak kecil melompat-lompat didepan kasurku. "Lulu?! Kamu tidak apa-apa?!" Aku menggapai Lulu, dan langsung memeluknya. "Lulu tak apa-apa kak. Kakak sendiri?" Lulu balik bertanya. "Kakak tak apa, selama kamu juga tidak apa-apa," aku memeluknya lagi.
"Alyssa," Ayah memanggilku. "Selamat ya," ayah tersenyum.
"Selamat? Untuk apa?" aku bingung.
"Kau masih belum menyadarinya?" Ibu bersuara. Kini semua menatapku. Aku mencoba berpikir sejenak. Untuk menyadari 'sesuatu' yang dimaksud ibu dan ayah.
"Aku tak mengerti,"
Lulu tersenyum. Lalu memegang tanganku. Aku melihat tanganku. Dan langsung menyadarinya.
"Tanganku? Bergerak? Kaki ku dapat digerakkan!? Suara ku keluar?!" Aku benar-benar bingung.
"Iya, semenjak kejadian tadi malam. Kutukan itu hilang Alyssa. Kau dapat membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin." Ayah tersenyum.
"A..Aku.." Aku masih bingung. Aku menatap tangan dan kakiku, lalu menggerakan keempatnya.
"Kebahagiaan datang padamu, Alyssa. Keajaiban menghampirimu. Doamu terkabul." Ibu mengeluarkan air matanya.
Aku...
Walaupun aku masih tak mengerti, namun aku bersyukur. Aku sangat bahagia. Aku dapat merasakan kehidupanku yang normal. Aku dapat melanjutkan sekolahku. Aku dapat keluar rumah tanpa harus melihat rasa kasihan dari orang-orang. Aku...Aku benar-benar beruntung.
Tuhan, terima kasih telah mengabulkan doaku. Engkau memang Maha Sempurna dan Maha Mengabulkan. Engkau memberiku kesempatan untuk bahagia, untuk dapat tertawa bersama mereka yang ku cinta, Engkau memberiku kesempatan untuk menggapai cita-citaku yang tak dapat ku gapai jika kutukan itu masih melekat ditubuhku. Terima kasih, Ya Allah. Engkau adalah segalanya bagiku. Memang benar, kesucian hati murni dapat menjawab segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar