"Woy, De! Bengong aja! Ntar kesambet loh!" Rara menepuk pundakku. Aku tersentak. "Ra, lu tuh bisa ga sih gausah ngagetin? Bisa jantungan gua temenan sama lo!" Aku membentaknya. "Ampun, De! Jangan marah. Abis lo diem aja daritadi! Gue kan cuma gamau temen gue kesambet siang bolong gini!" Rara membela dirinya lalu membuang muka. "Iyaiya Rara ku yang cantikkk...gausah ikutan ngambek!!" Rara melebarkan ibu jari dan telunjuknya membentuk sebuah pistol dan menempelkannya di bawah dagunya. "Ish, apaan sih lo! A-lay!" aku menjulurkan lidah. "Thanks yang lebih,"
Aku langsung menatap Rara.
"Eh lo napa sih daripagi dieemm aja ngeliatin langit mulu! Lagi mikirin gue?" Rara ikut bersandar di daun jendela bersamaku.
"Astagfirullahal adzim..Dosa apa gue sampe mikirin lo? Mendadak kafir gue!"
"Ya gausah segitunya juga kali, De." Rara cemberut. Menandakan bahwa ia marah padaku.
"Ampun cintaah.." Aku memeluknya. "Lepasin aku rafa!" Ia mengibaskan tangannya. "Ish males bener. Korban ccc lu,"
"Serah dah mau korban ccc kek, mau korban dewa kek, amira kek, bodo amat! Jawab dulu pertanyaan gue!" Rara menyikutku. "Aw, sakit, Ra!" aku mengelus lenganku. "Bodo,"
"Emang lo nanya apaan?" tanyaku polos.
Rara menarik nafas. Mengepalkan tangannya. Aku rasa sebentar lagi dia akan menyerangku dengan kata-katanya.
"De, lo itu minta di gampar ya?! Mau pake tangan kanan atau tangan kiri?! Hah?!"
"Mau dund digampar~"
"Serius nih?"
"Eh eh, canda kaliii...Lu napa si? Emosian bener. Lagi dapet?"
"Dapet duit gue mau! Kalo bukan karna sahabatku tercinta ini, gabakal gue emosi!"
"Ampun bang! Hahaha.."
"Gausah tawa! Udah jawab aja kek!!"
Aku diam. Kembali menatap langit. Dan menarik nafas panjang.
"Ra, kalo ngeliat lagi, gue jadi inget sama seseorang. Gue bisa ngebayangin mukanya. Seseorang yang jauh dari jangkauan gue,"
"De, lo suka sama cowo?! Siapa?!" Rara berteriak. Membuat teman-teman sekelasku langsung menatap ke arah kami. "Ah, engga. Gausah di peduliin!"
Aku menarik Rara menjauh dari kelas.
"Lo apa-apaan sih, Ra?! Gara-gara lo kita jadi pusat perhatian!" desahku. "Sorry, sorry. Reflek, De." Rara menghentikan pembicaraannya. "Eh tapi serius ada cowo yang lo suka?" Rara menatapku.
"Rara Riesta Ayu, harus gitu ya kalo mikirin seseorang itu berarti mikirin cowo?! Suka sama cowo?!" aku mengucapkannya dengan nada tinggi.
"Aries Gishel Nada, gue kan cuma nanya! Kalo emang bukan, ya gausah nyolot dong!" Rara melipat tangannya.
Aku menghentikan langkahku. Terdiam sejenak.
"De?" Rara mengibaskan tangannya tepat di depan wajahku.
"Ra, ke halaman belakang yuk!" aku kembali menarik tangan Rara.
"Woy, De. Selaw dongg!!"
Aku melepaskan genggamanku dari tangan Rara.
"Lo ngapain De ngajak gue kesini?"
Aku merebahkan tubuhku. Melipat tanganku dan menjadikannya seperti sebuah bantal. "Nyari tempat sepi,"
"Ngapain lo ke tempat sepi? Pengen mojok?" berbagai macam pertanyaan Rara menyerangku.
"Banyak nanya lo! Ga pegel tuh diri terus?"
"Pegel sih," Rara menundukkan tubuhnya, melipat kakinya kesamping.
Aku melihat langit. "Mending lo ikut rebahan kayak gue, Ra. Sambil ngeliat langit. Enak loh, serasa ada dimana gituu.." pandanganku sama sekali tidak berubah. Terfokus pada satu awan.
Rara menatapku bingung. Awalnya dia diam. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin sedang mempertimbangkan, jika dia ikut rebahan denganku apakah seragamnya akan kotor?
Namun akhirnya dia berubah posisi dan ikut rebahan sepertiku.
"Iya juga sih, De. Tiduran sambil ngeliatin langit kayak gini enak juga. Apalagi di bawah pohon rindang kayak gini, sejuk banget ya." dia menghentikan ucapannya. "Jarang banget di Jakarta ada yang begini," lanjutnya.
"Curhat, Ra?"
"Lo mah, De! Giliran gue serius aja malah digituin!!"
"Hehe,"
Aku diam.
"Ra, kalo lo inget nama gue, apa yang lo pikirin?"
"Aneh. Jelas-jelas nama panjang lo 'Aries Gishel Nada', eh di panggil Dede. Nyambung darimana coba? Kenapa ga dipanggil Aries aja? Atau Gishel? Atau bisa juga---"
"Itulah spesialnya, Ra." aku memotong ucapan Rara.
"Hah? Maksudnya?" Rara tampang bingung.
"Lo tau ga siapa yang kasih nama itu?"
"Orang tua lo kan?"
"Bukan. Tapi kakak gue."
"Kakak?" Rara membalikkan badannya, menghadap ke arahku. Dan aku tetap diam.
"Lo punya kakak, De?"
"Ya, kakak yang udah bikin gue tetep bertahan hidup sampe sekarang. Walau harus menukar nyawanya, demi gue---"
****
Ueekkk...
"Mah, mamah kenapa?" Nada mendekati mamahnya.
"Gatau nih, Nad. Akhir-akhir ini mamah mual terus. Ueeekkk..."
"Jangan-jangan ......""Jangan-jangan apa?"
"Jangan-jangan Nada mau punya dede kali mahh.." Nada bersorak senang.
"Ah jangan ngaco kamu!"
"Ihh serius! Coba mamah periksa deh ke dokter. Siapa tau aja bener!"
"Iya juga sih ya, yaudah deh besok mamah ke dokter."
****
Nada berdiam diri menatap derai hujan yang turun di luar sana. Diam dengan tatapan kosong. Lalu sebuah mobil berhenti tepat di depan pagar rumahnya. "Mamah!" Nada pun keluar membawa payung.
Mobil itu memasuki halaman rumah. Seorang wanita turun dari mobil. Dan Nada pun membuka payungnya lebar-lebar.
"Ayo Mah sini!" wanita tersebut ikut berlindung dibawah payung yang di bawa Nada.
Nada dan Mamah nya masuk ke dalam rumah. Dan duduk diruang tamu.
"Bentar ya mah Nada ambilin minum dulu!" Nada berlari ke dapur mengambilkan air minum untuk mamahnya.
"Nih mah," Nada kembali dan menyodorkan air putih yang dibawanya.
Mamahnya meminum air putih tersebut. Nada menatap ibunya penuh harap.
"Lalu?"
"Gimana mah hasilnya?"
"Iya nih, mamah hamil 3 bulan,"
"Yeaayy!!!" Nada bersorak gembira. "Berarti Nada mau punya dede dong?"
"Iya, sayaang.."
"Yes!"
Nada yang sudah berumur 10 tahun sangat gembira mendengar kabar itu. Dia sangat menantikan kehadiran dedenya.
Di sekolah, Nada menceritakan tentang kehamilan ibunya pada sahabatnya, Shinta. Nada bercerita dengan penuh semangat.
"Cieee yang mau punya adee...eh iya, kamu pengennya cewe apa cowo?" Shinta menyenderkan kepalanya di tangannya.
"Hmm..terserah sih. Cewe-cowo mah bagi aku sama aja, haha,"
"Seneng banget kayaknya,"
'Iya dong, jadi kan aku engga sendirian lagi dirumah," Nada tersenyum lebar.
"Yaiya si, tapi punya adek itu repot banget! Disuruh bikin susu lah, di suruh jagain adek lah, belom lagi kalo adeknya nyebelin! Aku sih lebih miliih jadi anak tunggal!"
"Ya itu sih kamu, bukan aku. Aih, ga sabar nunggu kehadiran adikku,"
"Iya deh terserah kamu, aku mah iya aja,"
"Nah gitu dong. Hahahaha,"
****
Bu Rossa memeriksa kandungannya. Bu Rossa pun di USG. Dan ketika Bu Rossa kembali ke rumahnya, "Mamaaahh...dede nya cewe apa cowo?' Nada langsung menyerang Bu Rossa. "Aduh Nada kamu tuh ga sabaran banget sih, hahaha.. Dedenya cewe sayang," Bu Rossa membelai rambut halus Nada. "Cewe? Berarti sama kayak Nada dong. Mah nanti dede namanya Aries Gishel ya mah,"
"Udah pasti bintangnya Aries?"
"Kalo menurut perhitungan Nada sih begitu,"
"Anak pintar," Bu Rossa mengusap kepada Nada, mencium keningnya, lalu memeluknya.
****
5 bulan kemudian
"Ayoo pah kerumah sakit..Mamah udah gakuatt..." Bu Rossa menggenggam lengan suaminya sangat keras. "Iya bentar Mah, kita ke mobil dulu," Pa Sandy merangkul istrinya sampai ke mobil. "Biar Nada yang kunci rumah pah," Nada mengambil kunci lalu mengunci pintu.
Namun diluar dugaan, ketika Pa Sandy dan Bu Rossa menyebrang, sebuah mobil dengan kecepatan yang sangat kencang melaju ke arah mereka. "Aaaaaaaa........." Namun ada yang mendorong Pa Sandy dan Istrinya. Mobil itu menabrak tanpa peduli siapa yang ditabrak. Namun mobil itu sama sekali tidak berhenti. "Nadaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa........................." Pa Sandy langsung menghampiri Nada.
"Nada kamu gapapa Nak? Kamu..kamu masih hidup kan?!" Pa Sandy sangat panik dan khawatir.
"Nad..Nada..gapa..pap..pa Pah..pap..a..baw..wa..mama..ker..rumah sak...it..aja...dulu...akk..kasi..an..mamah..pah.."
Pa Sandy menoleh kearah istrinya. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kini tangannya sudah berlumuran darah.
"Papaaaahhhhh............" Bu Rossa meringis kesakitan. "Iya mah,"' akhirnya Pa Sandy membawa Nada masuk ke mobilnya lalu istrinya.
****
Berjam-jam Pa Sandy menunggu. Menunggu kepastian. Kepastian hidup dan mati.
Hari telah berganti.
00.21 WIB
Dokter yang menangani Bu Rossa keluar.
"Dokter? Bagaimana keadaan istri saya, dok? Bagaimana dengan anak saya?"
"Alhamdulillah pak. Bu Rossa dan anaknya selamat. Dan selamat juga anak bapak perempuan." Dokter itu tersenyum. "Alhamdulillah..bolehkah saya masuk dok?"
"Oh silahkan pak silahkan,"
Pa Sandy memasuki ruang UGD.
"Mamah," Pa Sandy langsung menggenggam tangan istrinya.
"Pah,"
"Alhamdulillah mamah selamat."
"Iya pah,"
"Anak kita perempuan mah, perempuan. Cantik sekali seperti Nada,"
Bu Rossa terkejut.
"Pah Nada gimana Pah?! Nada baik-baik aja kan?"
Seketika suasana hening.
"Mah, Nada udah gaada mah. Nada ga berhasil di selamatkan. Nada meninggal jam 11 lewat 05 tadi" Pa Sandy menundukkan kepalanya.
"Engga! Gamungkin! Papah pasti boong! Nada ga mungkin meninggal kan Pah?! GAMUNGKIN!!!!!!!!!!!!!" Bu Rossa sangat terkejut mendengar berita buruk tersebut.
Pemakaman Nada dilaksanakan pada pagi harinya.
****
"Ya gitulah, Ra. Gue lahir, Kakak gue malah meninggal. Kelahiran gue sama kematian kakak gue cuma beda beberapa jam doang. Gue sedih, Ra." Aku meneteskan air mata. "Ya ampun De, jadi nama lo itu dikasih kakak lo? Dan nama Nada iu diambil buat mengenang kakak lo? Terus Dede juga karena kakak lo selalu nyebutin lo itu Dede?"
"Begitulah Ra. Dan hari ini ulang tahun dia. Gue pengen banget Ra ketemu sama dia. Kakak yang udah jadi malaikat penolong gue. Dia rela mati demi gue. Padahal harusnya sekarang dia udah lulus kuliah kali ya," aku mengusap air mata ku.
"Sabar, De. Ini udah takdir. Gabisa diubah lagi. Gue yakin kok De, kakak lo pasti lagi senyum sama lo walaupun di alam yang berbeda." Rara mengusap punggungku.
"Iya, Ra. Gue harus bisa lebih dari dia. Biar orang tua gue ga sedih lagi....."
*THE END*